Filosofi Hujan
Kamu tahu kenapa kita mengenang banyak
hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang,
kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air
yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.
-Tere Liye.
Sabtu, 29 Oktober 2016.
Rain had
come to smile.
Sabtu ini, merupakan Sabtu yang sudah
dinanti-nanti oleh aku dan mereka sejak dua tahun yang lalu. Sabtu yang menepis
semua opini orang tentang “khayalan” kami. Sabtu ini akan menjadi hari awal
yang bersejarah, tak akan pernah bisa dilupakan. Kemarin malam saja aku susah
tidur, saking tidak sabarnya menyambut Sabtu. Aku mengecek kembali perlengkapan
dalam tasku. Syal, penutup telinga, sarung tangan, cemilan, botol, paspor,
jangan lupa kertas kimia kehidupan, dan lain-lain. Semua sudah lengkap.
Setelah shalat zuhur berjamaah dan
selesai acara pelepasan, seluruh kelas 12 segera turun menuju lapangan SD untuk
bersiap-siap. Aku dan beberapa teman-teman yang lain duduk-duduk sebentar di
bangku, dan berfoto bersama menggunakan ponsel salah satu orangtua siswa. Tak
lama kemudian gerimis turun, pembina kami telah memerintahkan untuk berkumpul.
Kami pun beranjak menuju lapangan untuk berbaris. Gerimis terus turun tanpa
henti, kami pun akhirnya langsung memakai jaket OSIS yang awalnya akan mulai
dipakai saat sampai disana. Tak disangka-sangka, sebelum kami benar-benar
berangkat, seorang bapak yang merupakan pihak dari Dinas Pendidikan Kota Bogor
berkunjung ke sekolah dan memberi wejangan serta motivasi. Saat itu gerimis
sudah berhenti.
kami pun memulai langkah awal cerita ini,
berjalan menuju masjid Nurul Amal untuk naik bis. Beberapa menit kemudian gerimis
turun kembali, bukan gerimis ternyata. Lama kelamaan berubah menjadi hujan dan
bertambah deras. Semua berlari, yang membawa payung segera membukanya.
Sebenarnya aku membawa payung di tasku, namun aku malas mengambilnya sehingga
lebih memilih hujan-hujanan. Kemudian Khusnul yang memakai payung menawarkan
untuk berdua. Aku pun segera berlari menghampirinya.
Ah, ini bagian yang tidak kusuka. Tali
sepatuku lepas, berkali-kali terinjak. sementara hujan masih deras begini.
“duluan aja Nul, mau ngiket sepatu dulu,” aku pun tertinggal sebentar, mengikat
sepatu sambil hujan-hujanan. Kemudian berlari untuk berpayung kembali.
Tidak hanya sekali, beberapa kali tali
sepatuku lepas kembali. Tertinggal kembali, mengikat sepatu dengan
terburu-buru, kemudian berlari lagi menerpa hujan dan memakai payung. Tak lama
kemudian lepas lagi, aku pun malas mengikatnya dan membiarkannya, padahal
talinya berwarna putih dan mudah kotor.
Sampailah kami di depan masjid Nurul
Amal, beberapa orangtua telah menunggu di sana untuk melepas anak-anaknya.
Seragam batik yayasan yang kami pakai basah kuyup, padahal akan dipakai hingga
besok. Namun hal itu tidak membuat kami mengeluh dan patah semangat, semua itu
telah kalah dengan rasa bahagia kami Sabtu ini. Lagi pula untuk apa kami
mengeluh? Sementara hari ini harusnya kami bersyukur mimpi besar kami telah
tercapai.
Banyak orang tua kami yang khawatir dan
terharu saat melihat foto hujan-hujanan saat perjalanan kesini di grup whatsapp.
Semua masuk ke masjid untuk istirahat sebentar dan mengeringkan diri, menjemur
sepatu dan memeras kaus kaki dan baju yang basah. Ketika hari sudah hampir
sore, kami pun masuk ke dalam bis dengan baju yang belum kering sepenuhnya dan
berangkat menuju bandara internasional Soekarno-Hatta. Malamnya, ketika kami sudah
berada di dalam pesawat, tahu-tahu baju kami sudah kering.
Selasa – Rabu, 1-2 November 2016.
There’s always a rainbow after every
rain.
Tak terasa, 48 jam sudah kami
menginjakkan kaki di benua biru. Siang ini, hari selasa, kami baru saja pulang
setelah kunjungan ke Leiden University dan mampir sebentar ke university shop
untuk membeli cideramata. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan sekaligus
menyusuri jalan-jalan di kota pelajar ini. Seingatku saat itu langit tidak
terlalu mendung, namun gerimis mulai turun perlahan. Beberapa dari kami yang
membawa payung mengambilnya dari tasnya dan membukanya, termasuk aku. Kali ini
aku tidak malas memakai payung. Kuambil payungku dari tas dan kubuka. Sebuah
payung biru bergambar kucing. “Dit, bawa payung nggak?” tanya Ifa. “bawa,”
jawabku. “bareng dong,” aku pun berbagi payung.
Untungnya, hari ini hanya gerimis, tidak
hujan deras seperti saat berangkat. Aku terus memandang butir-butir air itu
turun dari langit. Entah mengapa, gerimis kali ini terlihat sangat indah,
sampai aku mengkhayal jika gerimis itu adalah salju. beberapa temanku yang lain
ada yang tidak menggunakan payung, entah itu memang tidak membawa atau sengaja
menikmati suasana yang jarang dirasakan ini. “jarang-jarang lho kayak gini,
ntar pas udah pulang nggak ngerasain lagi gerimis di Eropa,” kata salah satu
temanku. Benar saja, siang itu semua tengah menikmati gerimis disertai angin
yang sejuk, gerimis pertama di benua biru.
Esok telah tiba, hari Rabu. Pagi itu kami
sudah bersiap-siap dengan koper-koper yang sudah berbaris rapih. Setelah
menginap dua hari di hostel dan homestay, kami akan berangkat menuju
Delft. Pagi itu nampak pelangi di tengah cerahnya sinar matahari. Indah, baru
disini aku melihat pelangi yang hampir setengah lingkaran, biasanya pelangi
yang aku lihat hanya terlihat sebagian kecil saja. Gerimis kemarin siang dan
pelangi pagi ini seolah-olah berkata bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati
proses kami selama enam bulan lamanya.
Sabtu, 5 November 2016.
Not for
long rain clouds.
Kembali lagi di hari Sabtu, setelah tujuh
hari lamanya kami berada di luar tanah air. Setelah 48 jam pula kami berpindah
dari negeri kincir angin menuju negeri hitler. Saat ini pun saat yang paling
kutunggu. Setelah selesai kunjungan ke IWKZ, kami akan melaksanakan observasi
kota Berlin di sekitar gerbang yang menjadi ikon kota ini dan foto seangkatan. Sebelum
kesana, kami ke stasiun Hauptbahnof terlebih dahulu untuk makan siang dan
membeli oleh-oleh khas negara ini.
Ketika kami yang sudah selesai membeli
oleh-oleh menunggu yang lain, terlihat pemandangan dari kaca besar di depan
sekelompok massa yang jumlah tidak sedikit sedang unjuk rasa dan beberapa
memegang bendera hitam-merah-kuning, saat itu diluar tengah hujan. Seketika
semua melihatnya dan ramai membicarakannya, dan ada yang mengambil fotonya.
Beberapa dari kami pun bingung bagaimana cara melewati jalan yang ramai oleh
massa itu, padahal setelah ini kami akan melanjutkan perjalanan. Akhirnya
pembina kami pun menjelaskan bahwa unjuk rasa tersebut merupakan demo terhadap
orang asing. Waduh, pas sekali, kami semua pun orang asing alias turis dari
negara lain, pikirku. Demi keamanan, akhirnya rombongan akhwatlah yang
didahulukan untuk berjalan.
Kami pun keluar stasiun, tetap berjalan
dengan hati-hati. Massa masih ramai walaupun sudah berkurang. Aku dan yang lain
membuka payung. Kami tidak jadi naik kereta dan berjalan kaki. Hujan kali ini
tidak terlalu besar ataupun kecil, kami terus berjalan hingga akhirnya sampai
di bangunan bertuliskan “Dem Deutschen Volke”. Kami pun kehujanan
sebentar untuk foto bersama disana, tentunya dengan payung diletakkan terlebih
dahulu. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampailah kami
di belakang gerbang ikon kota ini. Aku benar-benar tidak percaya, sore ini
kulihat dengan langsung brandenburger tor yang dulu hanya kulihat di wallpaper
laptop saja, yang dulu hanya menjadi latar belakang di kelasku, namun kali
ini akan menjadi latar belakang yang nyata.
Namun, aku baru menyadari sesuatu. Kemana
rombongan ikhwannya? Tidak ada. ternyata demi keamanan, rombongan ikhwan pun
terpaksa untuk langsung pulang ke hostel karena kondisi jalan penuh massa tadi.
Tiga orang akhwat yang lain juga tidak ada, ternyata saat itu mereka masih di
kamar mandi dan juga harus pulang. Sore ini mereka semua tidak jadi ke brandenburger
tor.
Akhirnya sore ini pun aku dan beberapa
temanku yang lain sedikit kecewa, tidak ada yang bisa menyangka akan terjadi
seperti ini. Aku sedikit menggerutu dalam hati, berhasil ke brandenburger
tor tapi tidak full team. Walaupun begitu kami tetap melaksanakan
observasi ditemani hujan. Sebelumnya kami meletakkan tas dipinggir agar tidak
kehujanan. Sore ini kami hanya observasi, tidak foto bersama, hujan yang belum
berhenti dan suasana yang lumayan mendung tidak memungkinkan kami untuk foto
bersama disini.
Langit semakin gelap, observasi selesai.
Kami pun pulang dan masih hujan. Berapa lama kemudian kami hampir sampai di
dekat hostel, langit terlihat sudah malam walaupun waktu masih menunjukkan
pukul lima sore lewat. Saat itu aku sangat tidak nyaman karena hujan yang belum
berhenti, sepatu, kaus kaki, dan baju yang lumayan basah apalagi beberapa kali
kakiku tidak sengaja menginjak becekan, ditambah tas yang terasa lebih berat
dan sambil membawa plastik oleh-oleh dan payung.
Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat sampai
di kamar hostel. Hujan sore ini berbeda dengan yang lainnya. Tidak seperti
hujan yang tidak mematahkan semangatku saat berangkat di hari pertama dan
gerimis indah yang kusuka saat di Leiden. Sore ini aku kecewa, mendapatkan hal
yang tidak diinginkan. Sementara besok kami sudah harus pulang ke tanah air,
tidak ada waktu lagi.
Namun aku keliru, esok paginya sebelum
kami pulang pembina kami memberi kesempatan untuk mampir lagi ke brandenburger
tor sekaligus siswa kelas 12 ikhwan dan tiga akhwat lainnya melaksanakan
observasi yang kemarin belum dilaksanakan. Kami pun senang sekali, untungnya
pagi ini cerah. Kami pun tetap bersama-sama se-angkatan menjadikan brandenburger
tor menjadi latar nyata kami, menjadi jawaban besar dua tahun yang lalu.
Hujan kemarin sore tidak seharusnya aku benci dan kuanggap sebagai salah satu
penghalang.
Hujan
memang hanya fenomena yang biasa, namun hujan menyimpan filosofi yang indah,
terutama hujan yang hadir di kisah delapan hari di benua biru.