Monday, December 11, 2017

Kamu tahu kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.

-Tere Liye.


Sabtu, 29 Oktober 2016.
Rain had come to smile.
Sabtu ini, merupakan Sabtu yang sudah dinanti-nanti oleh aku dan mereka sejak dua tahun yang lalu. Sabtu yang menepis semua opini orang tentang “khayalan” kami. Sabtu ini akan menjadi hari awal yang bersejarah, tak akan pernah bisa dilupakan. Kemarin malam saja aku susah tidur, saking tidak sabarnya menyambut Sabtu. Aku mengecek kembali perlengkapan dalam tasku. Syal, penutup telinga, sarung tangan, cemilan, botol, paspor, jangan lupa kertas kimia kehidupan, dan lain-lain. Semua sudah lengkap.
Setelah shalat zuhur berjamaah dan selesai acara pelepasan, seluruh kelas 12 segera turun menuju lapangan SD untuk bersiap-siap. Aku dan beberapa teman-teman yang lain duduk-duduk sebentar di bangku, dan berfoto bersama menggunakan ponsel salah satu orangtua siswa. Tak lama kemudian gerimis turun, pembina kami telah memerintahkan untuk berkumpul. Kami pun beranjak menuju lapangan untuk berbaris. Gerimis terus turun tanpa henti, kami pun akhirnya langsung memakai jaket OSIS yang awalnya akan mulai dipakai saat sampai disana. Tak disangka-sangka, sebelum kami benar-benar berangkat, seorang bapak yang merupakan pihak dari Dinas Pendidikan Kota Bogor berkunjung ke sekolah dan memberi wejangan serta motivasi. Saat itu gerimis sudah berhenti.
kami pun memulai langkah awal cerita ini, berjalan menuju masjid Nurul Amal untuk naik bis. Beberapa menit kemudian gerimis turun kembali, bukan gerimis ternyata. Lama kelamaan berubah menjadi hujan dan bertambah deras. Semua berlari, yang membawa payung segera membukanya. Sebenarnya aku membawa payung di tasku, namun aku malas mengambilnya sehingga lebih memilih hujan-hujanan. Kemudian Khusnul yang memakai payung menawarkan untuk berdua. Aku pun segera berlari menghampirinya.
Ah, ini bagian yang tidak kusuka. Tali sepatuku lepas, berkali-kali terinjak. sementara hujan masih deras begini. “duluan aja Nul, mau ngiket sepatu dulu,” aku pun tertinggal sebentar, mengikat sepatu sambil hujan-hujanan. Kemudian berlari untuk berpayung kembali.
Tidak hanya sekali, beberapa kali tali sepatuku lepas kembali. Tertinggal kembali, mengikat sepatu dengan terburu-buru, kemudian berlari lagi menerpa hujan dan memakai payung. Tak lama kemudian lepas lagi, aku pun malas mengikatnya dan membiarkannya, padahal talinya berwarna putih dan mudah kotor.
Sampailah kami di depan masjid Nurul Amal, beberapa orangtua telah menunggu di sana untuk melepas anak-anaknya. Seragam batik yayasan yang kami pakai basah kuyup, padahal akan dipakai hingga besok. Namun hal itu tidak membuat kami mengeluh dan patah semangat, semua itu telah kalah dengan rasa bahagia kami Sabtu ini. Lagi pula untuk apa kami mengeluh? Sementara hari ini harusnya kami bersyukur mimpi besar kami telah tercapai.
Banyak orang tua kami yang khawatir dan terharu saat melihat foto hujan-hujanan saat perjalanan kesini di grup whatsapp. Semua masuk ke masjid untuk istirahat sebentar dan mengeringkan diri, menjemur sepatu dan memeras kaus kaki dan baju yang basah. Ketika hari sudah hampir sore, kami pun masuk ke dalam bis dengan baju yang belum kering sepenuhnya dan berangkat menuju bandara internasional Soekarno-Hatta. Malamnya, ketika kami sudah berada di dalam pesawat, tahu-tahu baju kami sudah kering.
Selasa – Rabu, 1-2 November 2016.
There’s always a rainbow after every rain.
Tak terasa, 48 jam sudah kami menginjakkan kaki di benua biru. Siang ini, hari selasa, kami baru saja pulang setelah kunjungan ke Leiden University dan mampir sebentar ke university shop untuk membeli cideramata. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan sekaligus menyusuri jalan-jalan di kota pelajar ini. Seingatku saat itu langit tidak terlalu mendung, namun gerimis mulai turun perlahan. Beberapa dari kami yang membawa payung mengambilnya dari tasnya dan membukanya, termasuk aku. Kali ini aku tidak malas memakai payung. Kuambil payungku dari tas dan kubuka. Sebuah payung biru bergambar kucing. “Dit, bawa payung nggak?” tanya Ifa. “bawa,” jawabku. “bareng dong,” aku pun berbagi payung.
Untungnya, hari ini hanya gerimis, tidak hujan deras seperti saat berangkat. Aku terus memandang butir-butir air itu turun dari langit. Entah mengapa, gerimis kali ini terlihat sangat indah, sampai aku mengkhayal jika gerimis itu adalah salju. beberapa temanku yang lain ada yang tidak menggunakan payung, entah itu memang tidak membawa atau sengaja menikmati suasana yang jarang dirasakan ini. “jarang-jarang lho kayak gini, ntar pas udah pulang nggak ngerasain lagi gerimis di Eropa,” kata salah satu temanku. Benar saja, siang itu semua tengah menikmati gerimis disertai angin yang sejuk, gerimis pertama di benua biru.
Esok telah tiba, hari Rabu. Pagi itu kami sudah bersiap-siap dengan koper-koper yang sudah berbaris rapih. Setelah menginap dua hari di hostel dan homestay, kami akan berangkat menuju Delft. Pagi itu nampak pelangi di tengah cerahnya sinar matahari. Indah, baru disini aku melihat pelangi yang hampir setengah lingkaran, biasanya pelangi yang aku lihat hanya terlihat sebagian kecil saja. Gerimis kemarin siang dan pelangi pagi ini seolah-olah berkata bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati proses kami selama enam bulan lamanya.
Sabtu, 5 November 2016.
Not for long rain clouds.
Kembali lagi di hari Sabtu, setelah tujuh hari lamanya kami berada di luar tanah air. Setelah 48 jam pula kami berpindah dari negeri kincir angin menuju negeri hitler. Saat ini pun saat yang paling kutunggu. Setelah selesai kunjungan ke IWKZ, kami akan melaksanakan observasi kota Berlin di sekitar gerbang yang menjadi ikon kota ini dan foto seangkatan. Sebelum kesana, kami ke stasiun Hauptbahnof terlebih dahulu untuk makan siang dan membeli oleh-oleh khas negara ini.
Ketika kami yang sudah selesai membeli oleh-oleh menunggu yang lain, terlihat pemandangan dari kaca besar di depan sekelompok massa yang jumlah tidak sedikit sedang unjuk rasa dan beberapa memegang bendera hitam-merah-kuning, saat itu diluar tengah hujan. Seketika semua melihatnya dan ramai membicarakannya, dan ada yang mengambil fotonya. Beberapa dari kami pun bingung bagaimana cara melewati jalan yang ramai oleh massa itu, padahal setelah ini kami akan melanjutkan perjalanan. Akhirnya pembina kami pun menjelaskan bahwa unjuk rasa tersebut merupakan demo terhadap orang asing. Waduh, pas sekali, kami semua pun orang asing alias turis dari negara lain, pikirku. Demi keamanan, akhirnya rombongan akhwatlah yang didahulukan untuk berjalan.
Kami pun keluar stasiun, tetap berjalan dengan hati-hati. Massa masih ramai walaupun sudah berkurang. Aku dan yang lain membuka payung. Kami tidak jadi naik kereta dan berjalan kaki. Hujan kali ini tidak terlalu besar ataupun kecil, kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di bangunan bertuliskan “Dem Deutschen Volke”. Kami pun kehujanan sebentar untuk foto bersama disana, tentunya dengan payung diletakkan terlebih dahulu. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampailah kami di belakang gerbang ikon kota ini. Aku benar-benar tidak percaya, sore ini kulihat dengan langsung brandenburger tor yang dulu hanya kulihat di wallpaper laptop saja, yang dulu hanya menjadi latar belakang di kelasku, namun kali ini akan menjadi latar belakang yang nyata.
Namun, aku baru menyadari sesuatu. Kemana rombongan ikhwannya? Tidak ada. ternyata demi keamanan, rombongan ikhwan pun terpaksa untuk langsung pulang ke hostel karena kondisi jalan penuh massa tadi. Tiga orang akhwat yang lain juga tidak ada, ternyata saat itu mereka masih di kamar mandi dan juga harus pulang. Sore ini mereka semua tidak jadi ke brandenburger tor.
Akhirnya sore ini pun aku dan beberapa temanku yang lain sedikit kecewa, tidak ada yang bisa menyangka akan terjadi seperti ini. Aku sedikit menggerutu dalam hati, berhasil ke brandenburger tor tapi tidak full team. Walaupun begitu kami tetap melaksanakan observasi ditemani hujan. Sebelumnya kami meletakkan tas dipinggir agar tidak kehujanan. Sore ini kami hanya observasi, tidak foto bersama, hujan yang belum berhenti dan suasana yang lumayan mendung tidak memungkinkan kami untuk foto bersama disini.
Langit semakin gelap, observasi selesai. Kami pun pulang dan masih hujan. Berapa lama kemudian kami hampir sampai di dekat hostel, langit terlihat sudah malam walaupun waktu masih menunjukkan pukul lima sore lewat. Saat itu aku sangat tidak nyaman karena hujan yang belum berhenti, sepatu, kaus kaki, dan baju yang lumayan basah apalagi beberapa kali kakiku tidak sengaja menginjak becekan, ditambah tas yang terasa lebih berat dan sambil membawa plastik oleh-oleh dan payung.
Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di kamar hostel. Hujan sore ini berbeda dengan yang lainnya. Tidak seperti hujan yang tidak mematahkan semangatku saat berangkat di hari pertama dan gerimis indah yang kusuka saat di Leiden. Sore ini aku kecewa, mendapatkan hal yang tidak diinginkan. Sementara besok kami sudah harus pulang ke tanah air, tidak ada waktu lagi.
Namun aku keliru, esok paginya sebelum kami pulang pembina kami memberi kesempatan untuk mampir lagi ke brandenburger tor sekaligus siswa kelas 12 ikhwan dan tiga akhwat lainnya melaksanakan observasi yang kemarin belum dilaksanakan. Kami pun senang sekali, untungnya pagi ini cerah. Kami pun tetap bersama-sama se-angkatan menjadikan brandenburger tor menjadi latar nyata kami, menjadi jawaban besar dua tahun yang lalu. Hujan kemarin sore tidak seharusnya aku benci dan kuanggap sebagai salah satu penghalang.
          Hujan memang hanya fenomena yang biasa, namun hujan menyimpan filosofi yang indah, terutama hujan yang hadir di kisah delapan hari di benua biru.

Notes By Me . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates